Delipada September 27, 2006 9:05 AM menulis: . soal Mahesa Jenar gara-gara mimpi, gue coba tanya teman gue, dia bilang gue suruh baca babat tanah jawa atau sejarah tentang nogososro dan sabuk inten..thanks banget, akhirnya gue bisa download juga ceritanya, mudah2an sesuatu yang baik bisa gue pelajari dari seorang Mahesa Jenar..tapi kenapa ada di mimpi gue yah?
BeliNaga sasra Sabuk Inten kitab 1 2 Lengkap jilid. SH Mintardja. Harga Murah di Lapak Pustaka Mandiri. Telah Terjual Lebih Dari 3. Pengiriman cepat Pembayaran 100% aman. Belanja Sekarang Juga Hanya di Bukalapak.
Nagasasradan Sabuk Inten Jilid 12 dari 29 karya SH hlm; 966.1 Kb) Read more. Sariyanti Palembang. Follow. Principle at Athalia Entrepreneurs Professional. Nagasasra dan Sabuk Inten Jilid 12 dari 29 karya SH Mintardja.pdf (95 hlm; 966.1 Kb) Read more. Art & Photos.
BeliNaga Sasra dan sabuk inten Djilid 28 di buku desa seni tmii. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. redmi note 8 iphone 12 iphone xs rak sepatu
BeliProduk Teknologi Strategi Jilid 2 Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama.
Nagasasraadalah jenis kerisnya, sedangkan Sabuk Inten merujuk pada ornamen intan yang menghias keris tersebut. Taburan intan ini disematkan mulai dari leher hingga ujung keris yang meruncing sempurna. Seiring dengan berjalannya waktu, Nagasasra banyak dijadikan rujukan oleh para ahli keris di masa berikutnya.
Manajemen Strategis Jilid 2" 3 barang. Buku Manajemen Strategis Jilid 2 Edisi 12 Kasus Strategic Management Fred R David SALEMBA EMPAT. Rp133.425. 5 Terjual 2 Bandung. Balebat Shop. Original bekas mulus Manajemen Pemasaran suatu pendekatan strategis dengan orientasi global edisi kedua jilid 2 Boyd. Rp69.000. Jakarta Timur
Sehinggasampailah pada saatnya mereka meninggalkan Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki Ageng Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama mereka pergi ke Gunungkidul karena keadaan daerahnya yang masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara terikat pada suatu kuwajiban yang tak dapat ditinggalka
0Xur4pg. MAHESA JENAR akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya. Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya. Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya. Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain. Baiklah Panembahan, jawab Mahesa Jenar. Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat, sambung Panembahan Ismaya pula. Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara. Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup. Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera. Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya. Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kaulihat? tanya Kebo Kanigara. Ya,jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk. Di mana muridmu sekarang? tanya Kanigara tiba-tiba. Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal, jawabnya singkat. Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya. Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis? Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan. Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu. Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku. Kau harus menemuinya, sambung Kanigara pula. Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya. Biarlah anakku mengantarkanmu nanti, kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, Siapakah Kakang Kanigara itu? Seorang anak perempuan, jawab Kanigara, Namanya Widuri. Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara? tanya Mahesa Jenar pula. Ya, jawab Kanigara singkat. Aku belum pernah mendengar sebelumnya, kata Mahesa Jenar. Adakah anak itu dilahirkan di Demak? Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu, jawab Kanigara. Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian. Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak. Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya. Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Bahkan beberapa tahun kemudian… kata Kanigara pula, Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak. Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara. Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku. Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat. Nah Mahesa Jenar… sambung Kanigara tiba-tiba, Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri. Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat. Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.
AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar. Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah. Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang. Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan. Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga susut. Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan lembut. Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta kerajaan. Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir. Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan tenaganya. Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam. Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu. Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang. Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang. Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah kerangka manusia. Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda penganiayaan. Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu. Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi digarap. Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka. Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin. TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka itu. Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi Jonggrang di tepi Sungai Opak. Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding rumahnya. “Apakah yang aneh padaku?” pikirnya. Ia merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama mengenai peristiwa Gunung Ijo. Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari sekian banyak pintu-pintu yang tertutup. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal itu. Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan sebagainya. Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan diterima. Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat. Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang. Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya. “Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu. Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya. Mahesa Jenar yang sudah mengambil keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan, menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal. Rombongan itu berjalan menyusur jalan desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di kiri-kanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak lanjut usianya. Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja mengikuti di Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah kebijaksanaan kakang.” Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah. “Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya,” tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa. Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya. Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud-maksud aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah.“Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.” Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan keadaan yang sebenarnya …? Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap, ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari keadaannya. Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak,Quote“Ayo bilang!” Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “Bapak Demang, kalau Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi daerah-daerah wilayah Kerajaan Demak.” Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini. SEORANG pegawai istana adalah orang yang pantas sekali mendapat kehormatan. Sedang orang ini? Orang yang mengaku menjadi pegawai istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah kalau hal semacam ini sampai terdengar oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka murka? Mahesa Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu atas orang-orang yang mengepungnya. Demikian juga wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya berkerinyut dan alisnya ditariknya tinggi-tinggi. Demang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada yang masih sesopan sikap Ki Sanak, memang tepatlah kalau ki sanak seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya orang-orang kota seperti yang pernah aku kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak seorang diri kemari, merupakan sebuah pertanyaan bagi kami.” Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati. “Ya, kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri?” Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu. “Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang,” kembali terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling, kepada orang-orang yang berdiri memagari. Dan sekali lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa. Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan dirinya dan menjawab dengan ramah pula. “Bapak Demang, sebenarnya memang aku mempunyai banyak keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk Bapak Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui umum.” Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa perkataannya itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai kepala penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia membentak dengan suaranya yang perlunya Kakang Demang meladeni orang semacam kau? Sekarang saja kau bicara.” Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan menjawab dengan baik. “Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.” “Belum cukup,” jawab Baureksa semakin marah. “Apa yang akan kau katakan kepada kakang Demang?” Mahesa Jenar memandang kepada orang tua itu. Wajahnya yang bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia dapat menerima permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati bawahannya yang merupakan tulang punggung kademangannya. Memang, Demang tua itu sendiri sering merasa tidak senang akan sikap Baureksa. Tetapi orang ini terlalu berpengaruh karena kehebatannya. Malahan pernah terpikir olehnya untuk suatu waktu memberi pelajaran sedikit kepada Baureksa, sebab meskipun usianya telah lanjut tetapi ia masih merasa mampu untuk melakukannya. Tetapi hal yang demikian akan tidak baik pengaruhnya terhadap rakyat yang justru sekarang memerlukan perlindungan dari bahaya yang setiap saat dapat mengancam. Dan tiba-tiba saja ia mendapat suatu pikiran baik. Menilik tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang tua yang sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa Jenar bukan orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati karena pikiran bagaimanakah sebaiknya Baureksa?” tanya Demang tua itu. Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya. “Orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya. “Kalau tidak mau?” pancing Demang itu. “Dipaksa!” jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh demang tua itu. “Bagus… terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa yang terjadi,” katanya. Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian-kejadian semacam itu, sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang sopan dan baik. Kalau sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya tak dapat dikendalikan lagi. Dan orang yang diperiksanya biasanya kesehatannya tak dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang pun yang berani menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang mengerikan itu. Apalagi kalau orang itu benar-benar pegawai istana, maka apakah kiranya yang akan terjadi?. Berbeda sekali dengan pikiran menjadi gembira seperti anak-anak yang mendapat mainan. Meskipun ia juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja dengan baik. Adatnya keras dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu, pada waktu terjadi huru hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya. Maka sekarang ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat atas kehebatannya dengan menumpahkan segala dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu sampai dimana kekuatan barang mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya otak Baureksa, namun ia masih juga melihat suatu kemungkinan yang ada pada calon korbannya. Sebaliknya Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu dengan menangkap pandangan matanya. “Permainan berbahaya. Demang tua itu sama sekali belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum mengenal orang macam Baureksa itu,” pikir Mahesa Jenar. Tetapi bagaimana pun, Mahesa Jenar terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka. “Gagak Ijo…!” tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak keras-keras.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan pula. Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya, segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian golok yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali, sehingga oran gyang memegangnya agak kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian Mahesa Jenar segera meloncat maju dan menangkap pergelangan tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan sekali dorong, orang itu telah jatuh tertelungkup dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan siapa?,” tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan yang terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh kau tak menjawab, tanganmu akan aku patahkan,” desak Mahesa Jenar. Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa menjawab, Quote“Aku adalah Sagotra.” “Apa maksudmu mengintai kami? ” desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras Atau tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram. “Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi", jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu. “Keadaanku sudah pasti, berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia,” sambung orang itu. Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata, Quote“Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang Salaka…?” Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka, tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka adalah sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak. Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan, Quote“Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu supaya kau tidak dapat lari darinya.” Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu. Tetapi segera pula menangkap lipatan lutut kaki kanan, sedangkan tangan Mahesa Jenar siap mematahkan pergelangan kaki kirinya, dijepitkan pada lipatan lutut kaki jangan…!” teriak orang itu tiba-tiba. “Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut Salaka”. “Itu adalah urusanku. Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh kau,” jawab Mahesa Jenar. TAMPAKNYA Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka kembali orang itu berteriak, Quote“Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.” Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. “Seorang yang telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya.” “Aku sama sekali tidak takut mati. Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri,” teriak orang itu. Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka katanya, Quote"Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih jalan kematian." Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak, Quote"Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka." "Baiklah…, berkatalah," jawab Mahesa Jenar. Lalu dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu langkah surut. Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud lawannya yang dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar menegurnya, Quote"Duduklah dan berkatalah." Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang menamakan dirinya Sagotra. Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan. Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai berkata? Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan. Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri. Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati "berkatalah, Aku hanya ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak.” Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi malu kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali, yang tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan mengagungkan alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati katanya kemudian, “Benarkah Tuan yang bernama Rangga Tohjaya?” Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. “Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya. Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan. “Sekarang aku sudah kau ketemukan,” kata Mahesa Jenar. “Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh dapat melihat kedatanganku.” “Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?” Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, “Memang, aku hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam gerombolan kami.” “Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa Jenar kemudian. Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama sekali tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit.